Kalo nt pernah ke Bitung dan pengen nyari tahu
soal pabrik ikan, hampir bisa di pastiin orang Bitung bakal nunjuk pabrik ikan
kaleng yang namanya PT. Sinar Pure Foods International. Yah, emang musti diakuin kalo itulah salah
satu pabrik ikan paling kesohor di Bitung.
Tapi asal tau aja, kalo di Bitung sebenarnya ada sekitar 50 lebih pabrik
ikan. Mulai dari pabrik penangkapan,
pengalengan, pembekuan, loin tuna, sashimi, hingga ikan kayu.
Bukan apa-apa sich, cuma lantaran ikan kayu di
Indonesia jumlahnya sedikit, dan yang
terbanyak ada di Sulawesi Utara. Sebut
aja PT. Celebes Minapratama (Bitung), PT. Manadomina Citra Taruna (Bitung), PT.
Sari Cakalang (Bitung), PT. Nichindo Suisan (Amurang), and PT. Etmico (Bitung).
Dari ke-5 pabrik tersebut, yang masuk kategori
‘tua’ adalah PT. Sari Cakalang, PT. Manadomina Citra Taruna and PT. Nichindo
Suisan, yg merupakan kelanjutan dari PT. Saruntawaya.
Untuk ukuran pabrik ikan kayu, PT. Celebes
Minapratama bisa dibilang yang paling ‘rapih’ dari segi penataan ruang di
banding 5 lain-nya. Eh, itu bukan kata
gue loh, tapi kata salah satu inspektor propinsi yang pernah inspeksi beberapa saat setelah perusahaan ini
memperoleh piagam Primaniyarta dari Presiden R.I.
Sebenarnya sich bukan hal aneh, karena pendirian PT. Celebes Minapratama
merupakan ‘perbaikan’ dari banyak kekurangan pabrik ikan kayu yang sudah
ada. Sedangkan PT. Nichindo Suisan dan
PT. Etmico menduplikasi penataan PT. Celebes Minapratama.
PT. Celebes Minapratama mengalami perjalanan yang
unik selama 11 tahun. Dari status
kepemilikan PMN, lalu berubah menjadi 20% PMN, 80% PMA (Jepang). Namun hanya dalam 3 tahun, statusnya kembali
beralih jadi 100% PMN, dg Mr. Albert Ody Worang sbg pemilik.
Ikan Kayu dan problematikanya
Walau pabrik ikan kayu telah eksis cukup lama di
Bitung, tapi masih banyak orang Bitung
yang tidak tahu apa itu ikan kayu.
Apalagi orang yang jauh. Malah
pernah salah satu pengunjung dari daerah di luar Sulawesi Utara yang menyangka
kalau ikan kayu adalah ukiran kayu berbentuk macam-macam jenis ikan. Dan yang bersangkutan lebih kaget lagi
setelah melihat aktifitas produksi yang ternyata menggunakan begitu banyak
‘ikan asli’
Memang orang Indonesia pada umumnya tidak familiar
dengan ikan kayu. Selain susah cara
makannya, lidah kebanyakan orang Indonesia masih lebih nyaman makan ikan bakar,
pepes, goreng, pindang, ikan rebus, ikan asin, atau ikan kaleng. Tapi tidak dengan ikan kayu yang kalo mau
makan harus di serut/skaf terlebih dulu.
Walau ikan kayu juga sudah diproduksi sejak lama
oleh sebagian masyarakat Aceh dg nama Keumamah, tapi sebenarnya ikan kayu
merupakan produk andalan orang Jepang.
Konon, ikan kayu sudah diproduksi sejak beberapa abad lalu oleh bangsa
jepang. Bahkan tentara Jepang yang berperang
pada PD 1, sudah biasa membawa ikan kayu, selain peluru dan granat di
ranselnya. Hal tersebut di mungkinkan
karena ikan kayu memiliki masa simpan yang cukup lama untuk produk berprotein
tinggi, yakni hingga 2 tahun pada suhu kurang dari 5 ⁰C.
Karena pada penyimpanan suhu kamar, ikan kayu mudah mengalami penurunan mutu karena tumbuhnya jamur di bagian permukaan.
Orang Jepang sangat menyukai ikan kayu. Sama dengan sebagian besar orang Indonesia yang begitu menyukai tempe dan tahu. Orang Jepang percaya bahwa selain enak dan menyehatkan, ikan kayu juga berpengaruh positif pada kecantikan kulit.
Berdasarkan laporan, penduduk Okinawa adalah masyarakat yang konsumsi ikan kayunya tertinggi di seluruh Jepang. Dan menurut mereka, itu juga yang menyebabkan penduduk Okinawa lebih banyak yang berumur panjang ketimbang penduduk lainnya di seantero Jepang.
Ironisnya, walau mereka begitu antusias pada produk ikan kayu ini, orang Jepang diperhadapkan pada masalah ketersediaan bahan baku ikan dan menurunnya animo kaum muda Jepang untuk berkotor-kotor memproduksi ikan kayu.
Kondisi minimnya tenaga kerja muda Jepang di bidang pengolahan tradisional bisa dimaklumi, karena hampir setengah keluarga Jepang hanya memiliki 1 orang anak. Karena itulah jepang kini mengalami kesulitan tenaga kerja, hingga harus mendatangkan tenaga kerja dari China, hingga Brazil.
Fenomena tersebut menyebabkan ditutupnya beberapa tempat pengolahan ikan kayu. Padahal, kebutuhan masyarakat Jepang akan ikan kayu baru 40% yang bisa dipenuhi oleh produsen lokal. Karena itulah Jepang mulai mengalih tekhnologi-kan ilmu membuat ikan kayunya ke negara-negara sekitar yang punya kelimpahan bahan baku berkualitas. Indonesia salah satunya.
Ketika pabrik ikan kayu mulai marak meng-eksport, tuntutan jaminan mutu negara importir yang dimotori Masyarakat Eropa mulai ‘membatasi’ jumlah eksport produk perikanan. Memang ada alasannya sich. Salah satu pemicunya adalah keteledoran berulang-ulang eksportir Bangsa kita yang menyebabkan terkirimnya residu pestisida pada produk yang sedianya bakal di makan para bule Eropa itu.
Malah sempet ada isyu yang berkembang soal teror lewat makanan. Uh, yang Eropa terlalu berprasangka buruk, yang eksportir Indonesia seenak perutnya. Pengen ngeraup keuntungan sesat, mengorbankan eksportir yang memegang etika berbisnis. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Nila,...nila,,...kurang ajar banget loe.